Rabu, 20 Desember 2017

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH REGULER KENAPA TIDAK?


Keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah reguler sering dipandang sebagai hambatan bagi kemajuan di lembaga formal pendidkan seperti SD, SMP, SMA/SMK atau sejenisnya. Tidak sedikit lembaga formal pendidikan yang menolak keberadaan anak berkebutuhan khusus. Padahal kalau merujuk padaUndang-Undang (UU) No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 49, yang berbunyi“Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”. Juga dalam Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 5 ayat 1: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam proses pendidikan, setiap peserta didik mengembangkan potensinya melalui proses interaksi dengan pendidik, kawan sebaya, lingkungan, dan sumber belajar lainnya. Proses pendidikan ini akan memungkinkan peserta didik menghayati pengalaman belajar untuk mewujudkan 4 (empat) pilar pendidikan, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk mampu melakukan (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama (learning to live together).
Memang, ABK adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: Tunanetra,tunarungutunagrahita,tunadaksatunalaras,kesulitan belajargangguan prilakuanak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dananak cacat (Heward, 2008). Tetapi hal tersebut tidak berarti mereka dikesampingkan dalam memperoleh kesempatan pendidikan sebagaimana anak normal lainnya.
Sesungguhnya pembelajaran bagi ABK tidak hanya dapat dilakukan oleh guru di kelas, tetapi seluruh staf sekolah, teman di kelas, maupun seluruh keluarga harus terlibat dalam proses pembelajaran ini. Misalnya untuk anak yang mengalami gangguan autis atau disleksia, mereka menjalani terapi khusus di sekolah untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar dengan model pemberian reward setiap kali mereka berhasil melakukan satu tugas. Tentu saja setiap tugas yang diberikan harus berkesinambungan dari sekolah sampai di rumah dengan pengawasan orangtua atau pengasuh anak tersebut. Keterlibatan seluruh orang yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus akan membuat anak lebih proaktif dalam mengatasi masalah (misalnya menghindaribullying). Dan yang lebih penting adalah meningkatkan kesadaran seluruh anggota sekolah akan fakta adanya perbedaan individual, meningkatkan keterampilan dan dukungan dalam belajar/emosi/sosial pada anak berkebutuhan khusus, sehingga akan tercipta sebuah situasi yang kondusif dalam mendukung proses pembelajaran bagi semua anak berkebutuhan khusus dalam jangka panjang.
Sebagaimana yang dimaklumi bahwa guru merupakan orang yang berperan penting (significant others) dalam proses pembelajaran anak. Kode etik guru menyatakan adanya kewajiban pada guru untuk meningkatkan kompetensi semua peserta didik secara objektif, tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu peserta didik dalam pembelajaran. Karena itu jelas semua guru harus berusaha mengakomodasi peserta didik berkebutuhan khusus di kelas. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa menangani pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus ini membutuhkan tenaga, waktu, atau kreativitas yang lebih banyak dibanding menangani peserta didik normal. Hal ini tentu akan memicu stress bagi guru yang bersangkutan. Karena itu, guru perlu mempunyai ketrampilan khusus dalam kelas, seperti manajemen kelas untuk mengatasi kelas yang terganggu oleh ulah murid hiperaktif/agresif, atau relaksasi setiap kali frustasi pada kelambatan dalam proses belajar peserta didik autis atau disleksia.
Kondisi masyarakat yang kurang memahami perkembangan anak membuat ABK tidak tertangani secara dini. Umumnya, deteksi dini gangguan pada anak baru terjadi setelah anak memasuki sekolah dasar; yaitu pada saat guru mengamati adanya perbedaan peserta didik dalam pembelajaran atau perilaku dibanding dengan teman di kelas. Karena itu, penting bagi seorang guru untuk dapat memberikan tanggapan atas perbedaan peserta didik.
Menurut Mercer (1983) bahwa sebelum mengajar, guru harus:
1. Mampu memahami bagaimana sebuah hambatan pada diri peserta didik dapat mempengaruhi hasil belajar, misalnya bagaimana gangguan sensori motorik dapat membuat anak sulit menggambar bentuk tertentu di kelas kesenian, anak dengan gangguan hernia atau asma akan sakit jika lari atau melakukan loncatan di kelas olahraga
2. Mengenali hambatan dan mengembangkan pengalaman belajar yang tersendiri, misalnya untuk anak autis atau disleksia diajari kata benda dengan melemparkan bola yang berisi kata timbul benda atau membuat bentuk dari benda yang dipelajari
3. Memberikan perintah yang bersifat pribadi bagi anak berkebutuhan khusus misalnya mendekati tempat duduk peserta didik dengan gangguan pendengaran, memberi perintah duduk sambil menuntun anak hiperaktif duduk
4. Memahami emosi pada peserta didik yang mengalami hambatan seperti sedih atau marah jika tidak dapat mengerjakan tugas di kelas, atau diejek karena kurang menguasai beberapa ketrampilan yang sudah dikuasai teman-temannya
5. Menggunakan layanan dan dukungan dari pihak mana pun, misalnya memberikan pekerjaan rumah yang melibatkan bantuan orang tua atau teman dalam mengajarkan materi tertentu, atau mengikutkan peserta didik yang pencemas atau cengeng dalam ekstrakulikuler menari yang dapat membantu meningkatkan endorphin sehingga emosi anak akan lebih positif
6. Mengkomunikasikan hambatan peserta didik pada orang tua secara efektif sehingga orang tua dapat menerima kondisi anak dengan baik, tidak cemas atau malah marah berlebihan, dan dapat bekerja sama menangani anak yang bersangkutan
Jika guru mencurigai adanya hambatan atau kondisi khusus pada peserta didik, maka ia harus melakukan penilaian secara mendalam. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan beberapa variasi metode pembelajaran, memberikan instruksi atau materi dengan cara berbeda. Kemudian, guru harus mendiskusikan keadaan anak dengan orang tua, kepala sekolah, dan konselor sekolah. Kemudian bersama konselor/guru bimbingan konseling di sekolah, guru melakukan program layanan intervensi dan pencegahan untuk meningkatkan perkembangan anak, termasuk diantaranya kepercayaan diri, tanggung jawab, kemandirian, juga keterampilan sosial dan komunikasi.
Selanjutnya, perlu strategidan metode pembelajaran yang tepat dalam belajar mengajar sebagai alternatif solutif dalam mengatasiABK. Misalnya strategi pembelajaran kooperatif untuk membangkitkan motivasi belajar ABK, meningkatkan prestasi belajar, meningkatkan retensi (daya ingat), dan meningkatkan kemampuan menjalin hubungan antar manusia, dan lain lain.
Guru perlu meningkatkan kualitas rancangan proses pembelajaran yang lebih banyak menekankan kepada pengembangan “pembelajaran” daripada “pengajaran”. Berbagai variasi metode pembelajaran sebaiknya diterapkan agar lebih menciptakan suasana dan lingkungan belajar yang lebih kondusif, aktif, kreatif dan menyenangkan, sehingga pada akhirnya dapat mengatasi siswa yang diidentifikasi sebagai ABK di sekolah reguler.
Biodata Penulis:
Nama : Adhyatnika Geusan Ulun, S.Pd., M.Pd
Tempat/Tgl. Lahir : Bandung, 6 Agustus 1971
Pekerjaan : Guru Bahasa Inggris SMPN 1 Cipongkor,
Bandung Barat
Alamat : Jl. Mahar Martanegara No. 78 RT 04 RW
05 Kel. Utama Kec. Cimahi Selatan
Kota Cimahi 40533
Telp. : 082115033120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar